Oleh : Dr.H.Mohamad Taufik Qulazhar, MA.MEd.
Salah satu hasil dakwah adalah
membuat musuh kesal. Mereka merasa rugi karena adanya dakwah. Oleh
karenanya musuh Islam selalu membuat gerakan menghalangi dakwah.
Kekesalan musuh karena keberadaan dakwah disebutkan dalam surah yasin.
Allah berfirman:
“Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami bernasib malang karena
kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya
kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapatkan siksa yang pedih
dari kami.” (QS. 36:18)
Kenapa musuh Islam mengkambing-hitamkan dakwah dan merasa bernasib
malang? Jawabannya adalah karena karakter dakwah adalah merubah. Ketika
para Rasul berdakwah ke negeri tersebut dan berusaha mengadakan
perubahan maka mulailah musuh Islam terpojokkan dan merasa dirugikan.
Salah satu perubahan yang diciptakan dakwah adalah perubahan dalam
aturan hidup. Merubah dari aturan jahiliyah menuju aturan cahaya Islam.
Allah berfirman:
“Alif, laam raa.(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu
supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang
benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha
Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS. 14:1)
Secara jelas ayat ini menyebutkan tujuan diturunkannya Al-Quran yaitu
merubah manusia dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam. Di titik
inilah kemarahan musuh Islam terpicu. Karena bagi musuh Islam, aturan
jahiliah menguntungkan dan menjadi jalan memperoleh dunia. Ketika aturan
tersebut dirubah menjadi islami, mereka merasa kepentingan mereka
terganggu.
Jadi, dakwah yang benar adalah membuat musuh Islam marah, dan bukan
sebaliknya, membuat musuh gembira. Marah dikarenakan kepentingan dunia
mereka terancam. Kesal disebabkan oleh arus perubahan yang mengarah
kepada nilai dan aturan islami.
Fatwa Harus ditinjau dari Sisi Maslahah dan Mafsadah
Apabila Al-Quran menegaskan bahwa dakwah adalah membuat musuh Islam
kesal. Maka nilai inipun harus ada ketika berfatwa. Fatwa tidak boleh
menghasilkan manfaat bagi musuhIslam. Juga tidak boleh menimbulkan
mafsadah bagi Umat Islam.
Oleh karenanya tahapan akhir dari sebuah fatwa adalah at-tathbiiq. Dalam fase ini fatwa ditinjau dari sisi maslahat dan mafsadahnya sebelum dirilis.
Demokrasi Haram, Siapa Diuntungkan?
Sebagai contoh apabila seorang mufti berpendapat bahwa demokrasi haram, maka sebelum masalah ini difatwakan harus melalui fase tathbiiq.
Ditimbang mashlahah dan mafsadah dari hukum tersebut. Apakah fatwa
demokrasi haram menjadi mashlahat bagi umat Islam atau sebaliknya
menjadi mafsadah dan menguntungkan musuh Islam.
Secara kasat mata, fatwa haramnya demokrasi hanya menguntungkan musuh
Islam. Sebab di negara yang menganut sistem demokrasi, akan terpilih
pemimpin yang tidak berpihak pada kepentingan Islam, bahkan pemimpin
yang non Islam. Ketika diadakan pemilu, Umat Islam tidak ikut serta
karena fatwa demokrasi haram. Akhirnya musuh Islam, baik munafiq atau
kafir, diuntungkan dengan fatwa ini.
Dalam kondisi seperti ini fatwa harus ditangguhkan dan tidak
dilaksanakan. Rasulullah saw. pernah menangguhkan sebuah perintah dari
Allah saw. ketika beliau melihat bahwa pelaksanaan perintah tersebut
hanya akan menimbulkan mafsadah dan kerugian bagi umat Islam.
Hal ini terjadi ketika Allah swt. memerintahkan untuk membangun ulang
Ka’bah sesuai dengan pondasi yang dibuat nabi Ibrahim. Rasulullah saw.
berkata kepada Ibunda Aisyah ra. bahwa kalaulah bukan karena kaum
Quraisy masih baru dalam memeluk Islam, beliau akan menghancurkan
Ka’bah.
Kalaulah sebuah perintah ditangguhkan karena diperkirakan akan
menimbulkan bahaya bagi umat Islam, maka demikian pula fatwa. Fatwa
demokrasi haram hanya menguntungkan musuh Islam dan para munafik, maka
hendaknya fatwa haram demokrasi harus ditangguhkan. Apalagi saat ini
hukum demokrasi masih menjadi silang pendapat di kalangan ulama.
Memahami Fiqih Waqi’
Ketidak-setujuan sebagian ulama terhadap demokrasi harus ditinjau
dari fiqih waqi’, yaitu memahami dengan cermat situasi dan realita. Hal
ini sangat penting dalam menentukan pendapat dan sikap. Rasulullah saw.
tidak menghancurkan berhala yang terdapat di sekeliling Ka’bah ketika
beliau masih berada di Makkah. Berhala-berhala tersebut baru dihancurkan
ketika fathu Makkah, tahun 8 Hijriyah. Apakah pembiaran Rasulullah saw.
terhadap berhala, semasa beliau di Makkah, akan kita nilai tidak
islami? Atau Justru mengajarkan kepada kita fiqih waqi’? Marilah kita
bijak dalam menyikapi realitas kehidupan. Wallahu A’lam.
0 komentar:
Posting Komentar