Jumat, 21 Juni 2013

Penghargaan tanpa benda

          Pagi-pagi saya sudah bersiap-siap hendak ke sekolah, bukan untuk kelangsungan agenda belajar mengajar melainkan hanya melihat UN yang sedang berlangsung di Sekolah. Kemudian sontak teringat undangan yang ada di dalam ransel saya, undangan pelepasan siswa SMA 2 Dayun, mulanya saya ingin mengurungkan diri untuk hadir dalam acara tersebut, tapi kaji di kaji tak ada alasan yang memberatkan saya untuk tidak berangkat, menghadiri undangan itu adalah kewajiban, ditambah lagi rasa segan yang tidak hanya undangan yang menarik-narik hati saya, tapi telponpun sudah ada sebagai undangan yang makin tak bisa saya tolak, begitulah sekelumit rasa segan saya terhadap ibu Asnimar. Akhirnya saya memutar langkah, siapakah yang bisa saya ajak untuk pergi. Pergi sendiri tidak bisa saya tempuh, karena saya agak pemalu (alhamdulillah gak malu-maluin). Dapatlah teman guru dari SMP seberang (ajak cabut ahk,wkwkwk).
             Begitu sampai di SMA, alhamdulillah ternyata sungguh masih sepi, walau sudah lewat 40 menit saya telat datang, ya maklum saja, Indonesia kalau gak telat gak keren, time is gossip, eh time is prepare, yang lebih tepat time is money(maklum banyak pebisnis, jadi bisnis dulu baru datang ke acara pelepasan). Acara pelepasan berlangsung sungguh semarak, acaranya teratur dan terkesan elegan, tiap cela kekurangan tertutupi oleh begitu banyak talenta yang saya sangat kagum akannya. Mulai dari sambutan yang bernas, penuh motivasi dan kearifan. Tarian yang mewakili semua suku yang ada di wilayah Dayun, tari persembahan, tarian tenun siak, tari rantak, tari jawa, tari tor-tor, tari karo biring manggisku dan tari papua yang tak kalah menghibur(tapi saya kurang tau, apa di dayun ada orang papua ya? Atau saya kali ya, hahaha).
Sudah puas kita tertawa dari tadi ya? Sekarang mari rapatkan barisan, tundukkan kepala, eh kok ngocol lagi, kali ini serius ya! Serius!. Pada acara pelepasan tersebut, ada seorang ibu tua (nenek) yang menangis, air mata membanjiri lingkar kelopak matanya, berusaha ia tahan namun akhirnya tumpah jua, mungkin rasa batinnya lebih kuat mengguncang sense kelembutan hati seorang perempuan. Sesekali ia memandang kebelakang pada beberapa orang ibu yang ada dibelakangnya, ibu-ibu itu tertawa walaupun pada dasarnya mereka juga sedang sulit menahan air mata yang bergelantungan dibulu matanya. Ibu-ibu yang tadinya tertawa, memilih untuk membaca katalog shopie yang sedari tadi di pegangnya untuk mengusir rasa yang mulai dominan, ya itulah wanita, sangat mudah untuk membuatnya menangis.
Ibu tua itu tetap larut dalam lautan air matanya, entah apa saja yang ada dalam benak dan hatinya. Begitu usai acara, saya mendekati ibu tersebut. “Nenek tinggal dimana?” “di survey nak, saya nenek si A” jawabnya(saya tidak bisa mendengar jelas nama siapa yang ia sebut, maklum agak pekak, bukan sengaja tidak menuliskan). Nenek pulang sama cucu?”tanya saya lagi. “Iya,ini nenek nunggu cucu,  nak. Anak tinggal dimana?”jawabnya dengan senyum yang menarik wajah keriputnya yang sudah mulai kendur. “Ooo, begitu. Saya tinggal di inpres nek, J  Saya pamit, duluan ya nek, Assalamu’alaikum”saya pamit sambil tersenyum dan menata langkah meninggalkan nenek tersebut.
Mungkin orang lain memandang ini hanya biasa-biasa saja bahkan sangat biasa. Apalah arti seorang nenek-nenek dengan pakaian lusuh diantara undangan lainnya yang begitu necis, bersepatu mengkilat, baju yang bersetrika licin, rambut yang rapi, jilbab yang cantik ditambah lagi polesan kosmetik yang tak kalah wah. Tapi nenek yang sederhana, dengan kerutan kehidupannya, saya menjadikannya pemandangan dan hari yang luar biasa, Dia lah pahlawan hari ini. Saya tidak tau, kenapa beliau yang hadir dalam acara pelepasan, kenapa bukan ayah/ibu dari cucunya. Saya juga tidak tau, apa yang beliau rasakan sehingga begitu sedianya meneteskan air mata. Namun, saya teringat ibu saya yang sejak kepergian ayah saya setahun yang silam, hatinya begitu sendu, lagu “Kemesraan” yang acap dinyanyikan dalam acara perpisahan, sontak saja bisa membuatnya menangis. Mungkin lirih itu juga yang dimiliki sang nenek, lirih akan perpisahan.
Nenek yang mungkin usianya 70 tahunan itu, dengan bangga mengatakan “Saya nenek si A”. Dia sangat bangga memiliki cucu seperti A. Dia mungkin tidak memberikan kado atau bunga saat pelepasan cucunya dari SMA, tapi kado terindah yang ia berikan adalah kesediaannya hadir dalam acara pelepasan cucunya, kesediaan membawa usianya yang cukup senja untuk hadir ditengah terik mentari dibawah tenda kuning itu. Jika kita mau menyadari, langkahnya yang oyong meninggalkan rumah, untuk cucunya. Matanya yang sudah tidak bisa begitu jelas melihat dan terus menyipit, menunggu dan menangkap bayang dan nyata cucu datang menghampirinya. Berdirinya yang tak begitu kuat lagi, butuh penopang untuk tubuhnya yang mulai lemah, ya lemah.Beruntunglah cucunya jika menyadari, ternyata cinta sang nenek sangat dalam padanya. Ingin kumenunggu hadir sang cucu, dan mengatakan “selamat atas pelepasannya, semoga menjadi lebih baik dan lebih sukses, sayangi nenekmu yang sangat mencintaimu” tapi sayang, aku hanya bisa merangkulkan jemariku dipundak sang nenek dan harus pergi. Jika aku bertemu dengan nenek itu lagi, aku ingin berkata “ajari aku menghargai, ajarkan aku mencintai, ajarkan aku ikhlas”. 

0 komentar:

Posting Komentar