Begitu sampai di SMA, alhamdulillah ternyata sungguh
masih sepi, walau sudah lewat 40 menit saya telat datang, ya maklum saja,
Indonesia kalau gak telat gak keren, time
is gossip, eh time is prepare, yang
lebih tepat time is money(maklum
banyak pebisnis, jadi bisnis dulu baru datang ke acara pelepasan). Acara
pelepasan berlangsung sungguh semarak, acaranya teratur dan terkesan elegan,
tiap cela kekurangan tertutupi oleh begitu banyak talenta yang saya sangat
kagum akannya. Mulai dari sambutan yang bernas, penuh motivasi dan kearifan.
Tarian yang mewakili semua suku yang ada di wilayah Dayun, tari persembahan, tarian
tenun siak, tari rantak, tari jawa, tari tor-tor, tari karo biring manggisku
dan tari papua yang tak kalah menghibur(tapi saya kurang tau, apa di dayun ada
orang papua ya? Atau saya kali ya, hahaha).
Sudah puas kita tertawa dari tadi ya? Sekarang mari
rapatkan barisan, tundukkan kepala, eh kok ngocol lagi, kali ini serius ya! Serius!.
Pada acara pelepasan tersebut, ada seorang ibu tua (nenek) yang menangis, air
mata membanjiri lingkar kelopak matanya, berusaha ia tahan namun akhirnya
tumpah jua, mungkin rasa batinnya lebih kuat mengguncang sense kelembutan hati seorang perempuan. Sesekali ia memandang
kebelakang pada beberapa orang ibu yang ada dibelakangnya, ibu-ibu itu tertawa
walaupun pada dasarnya mereka juga sedang sulit menahan air mata yang bergelantungan
dibulu matanya. Ibu-ibu yang tadinya tertawa, memilih untuk membaca katalog
shopie yang sedari tadi di pegangnya untuk mengusir rasa yang mulai dominan, ya
itulah wanita, sangat mudah untuk membuatnya menangis.
Ibu tua itu tetap larut dalam lautan air matanya,
entah apa saja yang ada dalam benak dan hatinya. Begitu usai acara, saya
mendekati ibu tersebut. “Nenek tinggal
dimana?” “di survey nak, saya nenek
si A” jawabnya(saya tidak bisa mendengar jelas nama siapa yang ia sebut,
maklum agak pekak, bukan sengaja tidak menuliskan). Nenek pulang sama cucu?”tanya saya lagi. “Iya,ini nenek nunggu cucu, nak.
Anak tinggal dimana?”jawabnya dengan senyum yang menarik wajah keriputnya
yang sudah mulai kendur. “Ooo, begitu.
Saya tinggal di inpres nek, J Saya pamit, duluan ya nek, Assalamu’alaikum”saya
pamit sambil tersenyum dan menata langkah meninggalkan nenek tersebut.
Mungkin orang lain memandang ini hanya biasa-biasa
saja bahkan sangat biasa. Apalah arti seorang nenek-nenek dengan pakaian lusuh
diantara undangan lainnya yang begitu necis, bersepatu mengkilat, baju yang
bersetrika licin, rambut yang rapi, jilbab yang cantik ditambah lagi polesan
kosmetik yang tak kalah wah. Tapi nenek yang sederhana, dengan kerutan
kehidupannya, saya menjadikannya pemandangan dan hari yang luar biasa, Dia lah
pahlawan hari ini. Saya tidak tau, kenapa beliau yang hadir dalam acara
pelepasan, kenapa bukan ayah/ibu dari cucunya. Saya juga tidak tau, apa yang
beliau rasakan sehingga begitu sedianya meneteskan air mata. Namun, saya
teringat ibu saya yang sejak kepergian ayah saya setahun yang silam, hatinya
begitu sendu, lagu “Kemesraan” yang acap dinyanyikan dalam acara perpisahan,
sontak saja bisa membuatnya menangis. Mungkin lirih itu juga yang dimiliki sang
nenek, lirih akan perpisahan.
Nenek yang mungkin usianya 70 tahunan itu, dengan
bangga mengatakan “Saya nenek si A”.
Dia sangat bangga memiliki cucu seperti A. Dia mungkin tidak memberikan kado
atau bunga saat pelepasan cucunya dari SMA, tapi kado terindah yang ia berikan
adalah kesediaannya hadir dalam acara pelepasan cucunya, kesediaan membawa usianya
yang cukup senja untuk hadir ditengah terik mentari dibawah tenda kuning itu.
Jika kita mau menyadari, langkahnya yang oyong meninggalkan rumah, untuk
cucunya. Matanya yang sudah tidak bisa begitu jelas melihat dan terus menyipit,
menunggu dan menangkap bayang dan nyata cucu datang menghampirinya. Berdirinya
yang tak begitu kuat lagi, butuh penopang untuk tubuhnya yang mulai lemah, ya
lemah.Beruntunglah cucunya jika menyadari, ternyata cinta sang nenek sangat
dalam padanya. Ingin kumenunggu hadir sang cucu, dan mengatakan “selamat atas pelepasannya, semoga menjadi
lebih baik dan lebih sukses, sayangi nenekmu yang sangat mencintaimu” tapi
sayang, aku hanya bisa merangkulkan jemariku dipundak sang nenek dan harus
pergi. Jika aku bertemu dengan nenek itu lagi, aku ingin berkata “ajari aku menghargai, ajarkan aku mencintai,
ajarkan aku ikhlas”.
0 komentar:
Posting Komentar