Kondisi
perpolitikan Indonesia semakin hari semakin memanas. Bikin greget mendengarnya.
Buat mulut ingin segera berargumen. Geram, itulah kata yang pantas melihat
mereka dengan ciri khas masing-masing menuangkan narasi politiknya.
Mulai dari
cara-cara santun sampai cara yang kurang elok dilakukan dilakukan insan
perpolitikan. Namun hal ini biasa selagi tidak melanggar aturan pemilihan umum
(Pemilu).
Tahun 2019
perhelatan politik digelar di seantora negeri. Berbeda dengan pemilihan
sebelumnya, pada tahun ini pemilihan Legislatif (DPRD Kabupaten/kota, DPRD
Provinsi, DPR RI dan DPD) dan Eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) dilakukan
bersamaan. Ini merupakan kebijakan baik salah satunya dalam menghemat anggaran.
Makin
mendekati pemilu, persaingan semakin sengit. Para elit politik membawa narasi
masing-masing dan melempar isu yang makin menarik. Caci maki kampret cebong,
masih akrab saja terdengar ditelinga, sama seperti 2014 lalu. Entah sampai
kapan. Apakah akan usai pada pilpres 17 April 2019 atau berlanjut lima tahun
kedepan.
Rasanya
sudah jenuh dengan kondisi bangsa yang saling menyalahkan dan semua merasa
benar dengan persepsinya masing-masing. Politik hari ini untuk pemilihan satu
paket presiden dan wakil presiden seperti mengulang peristiwa 2014 lalu. Dengan
kontestan calon Presiden Joko Widodo dan Prabowo. Ada yang berkata ga peduli
siapa wakilnya yang penting presidennya. Apakah pilihan itu kepanatikan atau
memang visi misi menarik yang ditawarkan.
Setiap kali
mekanisme debat calon presiden-wakil presiden selesai. Sosial media dibanjiri
dengan pernyataan netizen yang berargumen sesuai kapasitas mereka
masing-masing. Klarifikasi dari kedua kubu terus bergulir. Tidak ada yang
merasa salah, semua merasa benar dengan pernyataannya. Netizen adu argumen
seakan mereka menjadi miniatur debat calon presiden wakil presiden.
Banyak
sekali netizen berkomentar sinis dan dramatis demi membela pasangan calon
presiden-wakil presidennya. Namun demikian, tidak kurang pula yang berargumen
dan bersikap berimbang tanpa menyudutkan dan mengagung-agungkan salah satu
kandidat. Begitulah wajah perpolitikan Indonesia saat ini.
Bangsa Indonesia
menjadikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan. Dalam demokrasi kebebasan
berpendapat dimiliki oleh seluruh warga negara. Tidak terkecuali. Namun perlu
diingat kebebasan berpendapat adalah kebebasan yang dibatasi oleh norma-norma
kehidupan dan harus beradab.
Menurut teori klasik
Aristoteles, Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan
kebaikan bersama. Pendapat ini seharusnya meluruskan nalar, bahwa setiap bangsa
Indonesia yang ingin berkuasa di negeri ini menginginkan kebaikan bersama.
Mereka yang menjadi kontestan
pesta demokrasi tahun ini tentunya orang terpilih dan terbaik. Hanya paradigma
yang berbeda-beda. Mereka telah melewati mekanisme yang ditetapkan oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU) dan memenuhi syarat sebagai calon pemimpin dan wakil
rakyat.
Setiap kandidat memiliki visi
misinya. Harapan terbesar bangsa agar siapapun mereka yang menjadi pemenang
dalam perhelatan demokrasi kali ini. Melakukan perbaikan-perbaikan dalam
meningkatkan taraf hidup rakyat. Memberikan rasa aman dan nyaman untuk
beraktivitas sebagai warga yang merdeka.
Debat sana sini saling
mengunggulkan kandidat boleh saja dilakukan tim pemenangan masing-masing calon.
Survey dilakukan dan menangnya calon pilihan membuat sedikit lega. Namun tetap
saja pertarungan sebenarnya saat kertas suara dicoblos para pemilih.
Menang di dunia maya hanya
menjadi semangat dan meningkatkan strategi pemenangan calon. Karena tidak semua
rakyat Indonesia ikut andil dalam meramaikan cerita politik dalam dunia maya.
Mereka lebih cenderung menjadi silent
reader dan bahkan masa bodoh.
Masyarakat masa bodoh karena
tidak secara langsung terjun dalam panggung politik dan tidak teredukasi
tentang politik. Sehingga mereka hanya tau bagaimana caranya agar mereka bisa
menyantap makanan dari hari ke hari dan bisa melakukan aktivitas tanpa diganggu
dan mengganggu siapapun.
Apalagi dunia perpolitikan
Indonesia saat ini yang kelihatan absurb.
Semua kelihatan tidak pasti bisa berubah dalam hitungan hari. Elit politik yang
hari ini getol memenangkan satu kandidat dan esok pula gigih menjatuhkan
kandidat tersebut. Tidak perlu jedah yang lama untuk melihat kawan menjadi
lawan, lawan menjadi kawan. Kepentingan politik mempertaruhkan nasib bangsa
kedepan.
Nasib bangsa telah diperjuangkan
para pahlawan dari penjajahan. Mereka rela bersimbah darah, meninggalkan
keluarga dan mati di medan perang. Mereka membayar kemerdekaan dengan nyawa.
Bagaimana mungkin sebagai penikmat kemerdekaan, membiarkan negeri ini
dihancurkan tirani.
Nasib bangsa ini berada pada
rakyat Indonesia. Kontestan perpolitikan telah diberikan hak kampanye. Alat
Peraga Kampanye (APK) mereka siapkan. Banyak cara mereka lakukan membuat
spanduk dan menancapkannya di pinggir jalanan yang strategis.
Kemudian kartu nama, pamplet,
player dan yang tidak asing lagi kalender. APK ini merupakan lembaran kertas.
Tidak cukup sampai disitu, amonisi pesta demokrasi juga merupakan kertas suara
yang merupakan secarik kertas. Pada pesta demokrasi kali ini, setiap rakyat
diberikan lima kertas suara. DPDR Kab/Kota warna hijau, DPRD Provinsi warna
biru, DPR RI warna kuning, DPD RI warna merah dan Presiden Wakil Presiden warna
abu-abu.
Nasib bangsa ditentukan oleh lima
lembar kertas dengan kekuatan siapa yang paing banyak dicoblos. Kertas telah
menjadi bagian penting dari perjuangan bangsa dalam memilik kontestan terbaik
menurut rakyat. Tidak hanya itu, kepiawaian para desainer dan penyedia jasa
pembuat APK sudah barang tentu mengisi pundi-pundi rupiah mereka melalui moment
kampanye untuk Indonesia berdaulat.
Sebagai warga negara yang baik.
Menjadikan pemilu sebagai salah satu upaya untuk memperbaiki negeri. Dan sudah
menjadi tanggungjawab kandidat yang terpilih untuk terus berupaya menghadirkan
gagasan-gagasan yang relevan dengan kondisi bangsa saat ini. Rakyat yang baik
menghormati keputusan demokrasi dan bersinergi dengan pemerintah terpilih.
Pemimpin dan wakil rakyat yang baik adalah mereka yang terus menyuarakan dan
berkebijakan untuk kepentingan dan perbaikan nasib bangsa.
0 komentar:
Posting Komentar