Pernahkah
anda mendengar seseorang mengatakan bahwa manusia itu adalah mahluk
yang suka berkeluh kesah? Saya mendengar itu sudah sangat lama. Mungkin
ketika saya masih kecil. Dan sekarang setelah memasuki usia dewasa, saya
mendapati bahwa hal itu benar adanya. Kenyataannya, sangat mudah bagi
kita untuk mengeluhkan tentang ini dan itu. Kita bisa mengeluh tentang
penghasilan. Kita bisa mengeluh tentang pekerjaan. Tentang kesehatan.
Tentang atap rumah yang bocor. Tentang jerawat yang membandel. Tentang
sariawan akibat bibir tergigit secara tidak sengaja. Bahkan, kita
mengeluh karena terlalu banyak hal yang harus kita keluhkan. Lantas,
kapan kita akan berhenti mengeluh?
Belum lama ini saya bertemu dengan
seseorang yang saya kagumi. Sebenarnya, pertemuan itu dijadwalkan untuk
melakukan wawancara supaya saya bisa memahami kebutuhan perusahaan itu
akan program pelatihan yang saya fasilitasi. Selama proses wawancara
itu, kami merasa mulai akrab satu sama lain, sehingga kami tidak
menyadari bahwa sebelumnya kami sama sekali tidak saling mengenal. Oleh
karena itu, setelah semua hal yang saya agendakan untuk didiskusikan
dalam wawancara itu selesai, ada perasaan aneh yang kami rasakan, yaitu;
kami seolah belum ingin berhenti berdiskusi. Walhasil, pembicaraan kami
memasuki ’topik’ yang sifatnya lebih personal. Tepatnya, tentang
’konsep diri’ masing-masing. Lebih tepatnya lagi; saya mendapatkan
kesempatan untuk mendengarkan konsep diri beliau. Sebab, saya lebih
banyak mengeksplorasi dan mendengar daripada mengemukan pandangan saya
sendiri.
Ada begitu banyak pelajaran
yang saya dapatkan. Namun, satu hal yang bisa saya paparkan disini
adalah tentang pandangan beliau mengenai rasa malu. Rasa malu? Ya, rasa
malu. Tetapi, ini bukan rasa malu kita dihadapan sesama manusia.
Melainkan rasa malu kepada Tuhan. Hebatnya lagi, orang yang saya kagumi
ini mampu menggambarkan pelajaran penting itu dalam sebuah kalimat
sederhana. Maaf, bukan kalimat, melainkan sebuah frase yang dibangun
oleh dua kata, yaitu;’Malu Mengeluh’.
Jika kita merasa malu untuk
berlari-lari dijalanan dengan tubuh tanpa busana, maka kita tidak akan
melakukannya. Itu pasti. Kecuali jika kita sudah kehilangan akal sehat;
maka apapun tidak akan membuat kita malu. Bayangkan, apa yang terjadi
jika seseorang merasa malu untuk mengeluh. Dia malu kepada Tuhan jika
harus mengeluh. Lho, bukankah orang bijak menyarankan agar kita
mengadukan segala permasalahan yang kita hadapi itu kepada Tuhan? Benar.
Namun, mengeluh bukanlah istilah lain dari frase ’mengadukan setiap
permasalahan kepada Tuhan’.
Ketika kita mengadukan persoalan hidup
kepada Tuhan, kita mengakui bahwa diri ini memang lemah. Dan kita
berharap agar Tuhan berkenan untuk memberikan bantuan. Sedangkan
mengeluh? Ini beda. Sebab, ketika kita mengeluh kita merasa ada sesuatu
yang salah dengan takdir ini. Sehingga, ketika mengeluh sesungguhnya
kita seperti menyalahkan nasib atas semua hal yang kita alami. Padahal,
ada banyak bukti bahwa keluhan yang kita lontarkan selalu bersumber
kepada kurangnya rasa syukur kita atas semua pencapaian yang sudah kita
raih. Itulah sebabnya, mengapa ’mengeluh’ itu bukan monopoli orang
susah. Orang yang sukses pun sangat terampil mengeluh. Ibaratnya, si A
mengeluhkan nasibnya yang tidak sebaik si B. Sebaliknya, si B
mengeluhkan takdirnya yang tidak senyaman si A. Anehnya, jika saja si A
dan si B saling bertukar posisi; belum tentu mereka akan berhenti
mengeluh.
Sahabat baru saya itu bercerita tentang berbagai pencapaian
yang pernah diraihnya. Baik pencapaian karir profesionalnya, maupun
pencapaian dalam bidang kehidupan lain. Semua itu cukup untuk membuat
saya mengagumi semua pencapaian beliau. Tidak banyak orang yang bisa
seperti dirinya. Tentu saya tidak bermaksud melebih-lebihkan. Karena
kenyataannya manusia memang tidak sempurna. Namun, diantara
ketidaksempurnaan itu; ada orang-orang yang amat diberkati. Lalu dia
berkata; ”Itulah sebabnya, saya merasa malu untuk mengeluh……”
Saya
tersentak mendengar itu. Sebab, kalimat itu benar-benar menohok jantung
saya. Memang, tidak ada satu manusia pun yang kehidupannya selalu indah.
Sebab, kita percaya bahwa kehidupan itu seperti roda. Kadang diatas,
kadang dibawah. Tetapi, orang-orang yang senantiasa berterimakasih atas
semua pengalaman diri ketika roda kehidupannya tengah berada diatas;
adalah mereka yang tidak hendak menghapus semua keindahan itu dengan
kesulitan yang dia hadapi saat roda kehidupan tengah menekannya dibawah.
Ketika
kita sungguh-sungguh berterimakasih atas sebuah berkat, maka kita tidak
akan mengeluh ketika tengah diuji dengan sebuah situasi sulit.
Sebaliknya, kita semakin berterimakasih karena ternyata nikmat yang dulu
pernah didapat itu begitu bernilai. Dan ketika kita begitu khusyuknya
bersyukur, kita lupa untuk mengeluh. Bahkan, sekalipun kita ingat; kita
tidak jadi mengeluh. Karena, kita malu untuk mengeluh. Oleh karenanya,
yang terucap dan tertindak tiada lain adalah ungkapan penghargaan atas
semua kenikmatan yang telah Tuhan anugerahkan. Sekalipun Tuhan tengah
mengujinya, tetapi kita merasa malu mengeluh. Lalu kembali berterima
kasih. Duh, betapa santunnya seorang hamba ketika terus berterimakasih,
bahkan ketika tengah berada dalam ujian. Pantaslah jika semakin hari,
dia semakin disayang oleh Tuhan.
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman
Natural Intelligence Learning Facilitator
0 komentar:
Posting Komentar