Assalamu'alaikum....
Ayah, semoga engkau dalam keadaan sehat wal afiat, semoga engkau sedang berbahagia.
Ayah, dari beberapa hari yang lalu benakku lekat hanya memikirkanmu, aku selalu terbayang wajahmu yang dulu, wajah yang yang masih sangat lekat dalam ingatanku, wajah mudamu dan semangat mudamu, semangat organisasimu dan semangat membahagiakan kami istri dan anak-anakmu juga keluarga besarmu, aku bangga memiliki ayah sepertimu, aku bangga memiliki ayah sebijaksana engkau, aku bangga memiliki ayah yang tak pernah mengeluh sepertimu.
Kalau ku lihat kini wajahmu, banyak sebenarnya bebanmu dan aku juga masih jadi bebanmu, disaat anak orang lain, disaat anak sahabat-sahabatmu yang seusiaku sudah bisa memberi untuk keluarganya, memberi warna dan arti yang baru bagi keluarganya, sedang aku, aku tak bisa apa-apa, bahkan berpijak dan berjalan untuk diriku saja, aku masih mengharapkanmu mengayunkan langkahku. Aku tak bisa lakukan apa-apa untukmu.
Kalau ku lihat kini wajahmu, banyak sebenarnya bebanmu dan aku juga masih jadi bebanmu, disaat anak orang lain, disaat anak sahabat-sahabatmu yang seusiaku sudah bisa memberi untuk keluarganya, memberi warna dan arti yang baru bagi keluarganya, sedang aku, aku tak bisa apa-apa, bahkan berpijak dan berjalan untuk diriku saja, aku masih mengharapkanmu mengayunkan langkahku. Aku tak bisa lakukan apa-apa untukmu.
Ayah, aku masih ingat dulu ketika engkau berlayar dari satu daerah ke daerah yang lain, berlabuh dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain, aku selalu ingin ikut denganmu, aku ingin menyertaimu, aku ingin ikut denganmu meski kadang amak melarangku karena takut aku mengganggu aktivitas kerjamu. Tapi aku yang bandel selalu merengek minta ikut dan minta pergi bersamamu, tanpa disuruh dan dipinta, aku mempersiapkan pakaianku sendiri, ku masukkan ke dalam tas yang berisi baju dan serantang masakan amak. Ya, engkau selalu dibekali nasi masakan isteri tercintamu.
Ayah, aku masih ingat dulu ketika engkau masih sangat gagah dan muda, engkau mengajakku berlayar dikala ramadhan, engkau sangat tahu akan menu kesukaanku, suatu hari saat dini hari, tepat dalam ramadhan dimasa usiaku belum mencapai 9 tahun, kau bangunkan aku "nak, bangunlah, kita sahur yuk, ayah sudah pesankan udang goreng kesukaanmu". mm...lezat sekali udang goreng itu, udang goreng galah satu mangkok hanya ku habiskan sendiri dan ayah lebih suka memesan rendang daging sapi atau ayam. Aku makan dengan lahapnya, tambuoh banyak-banyak, nasi satu mangkok habis sama kami berdua. Luar biasa udang itu enak sekali, waktu itupun harganya tak begitu mahal, karena banyak yang menangkap udang di sungai.
Usai makan, istirahat sejenang memberi kesempatan pada nasi untuk berproses di dalam perut, kemudian kami mandi dan shalat subuh, setelah terasa segar, menghirup udara pagi, makan udang kesukaan, mandi dan shalat subuh, kami menggelar pakaian jualan ayah di lost-lost pasar tempat ayah berjualan, sama seperti sebelum-sebelumnya pembeli langganan ayah ataupun yang sesekali saja berbelanja datang, dari yang sangat akrab dikenal hingga yang sama sekali tak kami kenal. Riuh pasar membesarkanku, membuatku terbiasa berhitung cepat, bagaimana tidak, pembeli yang begitu banyak dengan belanjaannya yang beragam harga dan banyaknya, yang paling aku suka adalah mengumpulkan uang pembeli dan mengembalikannya, membungkusnya ayahku karena dia lebih telaten dan rapih, kalau aku bisa berantakan.
Aku bahagia sekali, tak teringat puasaku lagi, biasanya kalau di rumah aku sedikit lelah, mungkin karena tidak banyak beraktifitas. Dan kurang manfaat karena banyak menghabiskan waktu bermain saja. Saat itu, aku bahagia sekali, bisa membantu ayah jualan.
Ayah memang cerdas, ayah sumber inspirasiku. Amak guru terbaikku.
Bersambung....
0 komentar:
Posting Komentar