Gejolak cinta pada ikhwan atau akhwat itu adalah suatu yang fitrah, hanya bagaimana penyikapan kita menyiasati perasaan yang fitrah itu. Adakah kita bisa menahan gejolak jiwa hingga datang yang benar-benar menjadi hak kita, menjadi milik kita dan halan bagi kita. Sangat sayang ketika seorang ikhwan dan akhwat memulai kisah cintanya saat ia masih belum berhak atas satu dengan yang lainnya, sudah berkurang kenikmatan saat menelpon suami yang dulu juga sudah sering dilakukan. Berbeda saat itu tidak pernah terjadi sebelum janur kuning menghiasi halaman, saat tangan masih bersih dari inai yang hampir mengukir seluruh tangan ikhwan dan akhwat, hanya aku dan dia yang malam itu di hiasi tangannya dengan inai. Telpon yang diterima sangat dirindukan, suami selalu khawatir saat jauh dengan isterinya, isteri selalu menunggu telpon dari suaminya, ketika membaca smsnya hati terasa tersanjung dan bibirpun mulai menarik senyum tersipu malu dan penuh cinta, selalu ingin didekatnya, selalu ingin menatapnya, selalu ingin bertatapan dengan bening kilauan matanya. Sangat sayang ketika itu semua sudah menjadi biasa dari sebelum pernikahan, menyentuh tangannya sudah menjadi biasa namun jika dulu tidak terjadi maka itu menjadi kebahagiaan, memberi semangat disaat lelah menyentuh, memberi energi saat sengat panas menerpa diri. Menetralisir gejolak jiwa adalah pekerjaan yang cukup sulit ketika kita sudah berani untuk memulai bertanya kabarnya, keluarganya, dan sudah banyak yang kita bicarakan. Mertua sudah bukan yang istimewa lagi karena sudah sering dan bahkan pernah menyakiti hatinya, sudah kaku. Tidak ada lagi yang harus dikenal, sudah tau semuanya bahkan kebiasaannya, sudah tiada lagi penasaran, tak ada lagi romantis karena romantis sudah menjadi jalan untuk hidup bersamanya, maka hambarlah yang terasa karena manisnya sudah dituai pada waktu yang tidak tepat, hanya berharap menuai manis pada masa selanjutnya, dan kita juga tidak tau apakah masa itu masih ada, apakah masih diberi kesempatan. Sangat sayang jika kemanisan yang mestinya dituai disaat bahtera pernikahan itu baru dimulai, telah meninggalkan sepah yang hanya hambar dan mungkin lebih pantas untuk dibuang. Sangat sayang jika hanya melewati dan hanya akan melengkapi manisnya sayang yang seharusnya baru dimulai. Ibarat pertempuran kita hanya saja hadir saat klimak, betapa mumetnya betapa canggungnya apalagi yang dihadapi adalah perang yang hebat bahkan merenggut nyawa. Apakah kita hanya ingin memenuhi bahtera kita dengan hanya saling tuding dan penuh dengan penyesalan? Tentu ikhwan dan akhwat menginginkan bahtera yang berlayar damai dan tentram, yang saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya yang saling mengisi antara satu dengan yang lainnya yang saling memberi kasih dan sayang yang cukup antara satu dengan yang lainnya.
Sangat sayang ketika yang menjadi suami atau isteri bukanlah ikhwan atau akhwat yang dulu sangat diidamkan, yang membuat mata tak lena tertidur karena selalu terbayang wajahnya, yang membuat makan tak lagi menjadi kebutuhan primer karena ingin segera bertemu atau berinteraksi dengannya walau hanya melalui sms. Dan Allah berkehendak lain, dia tidak diberikan untuk kita, dia diberikan untuk yang lain dan kita juga untuk yang lain. Oh betapa gundahnya hati saat teringat akan dia, saat taufan melanda bahtera rumah tangga. Betapa ingin dia datang menjemput dan memberikan tempat berteduh. Betapa tersiksanya, cinta yang dimulai saat belum menjadi hak dan cinta yang dipelihara padahal ia adalah tanaman liar di taman hati kita, karena landasannya sudahlah berbeda. Sangat sayang jika kita membiarkan tanaman liar itu membentuk ekosistem dalam hati kita, segeralah kita membunuh tanaman liar itu karena ia tidak pantas hidup dalam perasaan kita, tidak pantas mewarnai jiwa yang penuh dengan gejolak. Saat ini hanya satu cinta, satu harapan, satu tujuan untuk kebahagiaan mahligai yang sudah diikrarkan dihadapan para saksi dan hanya dia yang ada dibenak dan hanya dia yang musti disayangi dan sangat sayang jika tidak sayang.
Sayang sekali jika hati sudah mati dan sudah tak bisa terbuka untuk yang lain. Lantas apa maksud dari lamarannya yang kita terima? Sadarkah kita dengan tindakan kita betapa banyak yang terluka dan sungguh sebenarnya kita sedang menyayat-nyayat hati kita. Setiap hari perasaan yang berbeda kita pupuk pada orang yang sudah bukan diperuntukkan menjadi pasangan pernikahan dan teman dalam segala kondisi kita. Karena perasaan itu semakin hari akan subur dan gemburlah hati kita dengan perasaan yang tak sepantasnya ada ketika kita sudah dibingkai dalam ikatan yang sangat sakral. Betapa sakitnya hati kita saat kita dibohongi dan apakah hati kita tidak sakit saat kita membohongi diri sendiri? Suami adalah ketaatan kita setelah pernikahan membingkai kita, perintahnya adalah amanah yang harus kita laksanakan. Bagaimana bisa mentaatinya sedang kita tidak bisa menghargainya? Seorang isteri atau suami setelah pernikahan sudahlah harus membuang segala perasaan cinta terhadap yang lain yang ada dimasa lalu, karena perasaan itu akan membelenggu dalam setiap persoalan hidup yang akan kita hadapi. Betapa sakitnya hati sang suami saat dia tau ternyata isterinya lebih mencintai orang lain dari pada dirinya yang telah sah menjadi suaminya, begitu juga sebaliknya. Lantas apakah kita masih mau berbuat seenak perut kita sementara banyak yang akan terluka? Masa lalu hanya sebagai pelajaran untuk kehidupan kita saat ini, bukan untuk dibanding-bandingkan satu dengan lainnya karena tidak akan pernah sama. Bukankah waktu itu berputar seiring dengan usia yang akan membuat kita semakin tua atau dewasa. Kasihanlah isteri yang tidak pernah menghargai suaminya dan kasihanlah suami yang tidak menghargai isterinya. Isteri atau suami yang diperuntukkan bagi kita adalah kebahagiaan kita, karena bukan perjodohan yang mempertemukan kita, bukan orang tua yang memaksakan kehendak, bukan murobbi yang telah mencanangkan pernikahan kita. Tapi itu adalah rencana Allah dan itu adalah nikmat yang Allah berikan karena kecintaanNya pada ummat, apakah kita masih meragukan Allah yang telah memberikan kehidupan pada kita? Sungguh Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

0 komentar:
Posting Komentar