Sabtu, 09 Juli 2011

Ia mengajarkan kejujuran

Dia adalah sosok sederhana, badannya tak lebih besar dan tak lebih tinggi dariku, dia tinggal di rumah yang cukup besar untuk anaknya berlarian kesana kemari, dia punya dua orang anak yang lucu dan selalu menjadi penarik ujung-ujung bibir kami ke atas untuk tersenyum bahkan tertawa lepas. Aku tak perlu menyebutkan namanya, tapi dia selalu ada dalam kehidupanku karena walaupun dia sebentar ada dalam lingkaran kami, dia cukup berarti bagiku, dia seorang murobbi yang sampai saat ini jika bertemu dengannya selalu terasa hangat kasih sayangnya, dengan karakter murobbi sebagai seorang guru, seorang syeh, orang tua, dia berhasil menjadi murobbi dengan definisi ‘orang tua dan guru’. Dia mendidik tidak memaksa, dia mengayomi, dia mengerti. Sedangkan aku? Aku tidak tau apakah aku bisa menjadi posisi-posisi tersebut.
Aku tau dia bukan seorang yang tegas tapi tegar, saat itu dia menyatakan suatu kejujuran dalam lingkaran kami. Kejujurannya yang menghentak, kejujurannya yang tak bisa diterima sesaat, yang membuat hati sakit tidak kepalang. Dia jujur berkata “Ana tidak mau membina” dan tidak hanya kata-kata itu, pernah beberapa kali dia acuh pada kami, aku saat itu tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Coba anda bayangkan jika murobbi anda mengatakan begitu. Apa gak terhenyak? Apa gak padam semangat yang mengepul padahal kan yang selama ini didengar “Amanah tidak boleh ditolak” tapi ternyata kehadiran kami tidak dihendaki, betapa kasihannya kami.
Tapi aku tidak kalah dengan hentakan itu, rasa penasaran mulai menggelayut dalam benakku, rasa usil juga mulai membelenggu setiap akan bertemu beliau, ingin menuntut hak, ada rasa marah. Tapi setiap kali melihat beliau menyapa, hilang rasanya semua keluh dan tidak ingin rasanya untuk menuntut lagi. Tarbiyah yang ia berikan adalah tarbiyah kimia cinta, setiap pekannya adalah kerinduan, dia bukan seorang peminat kimia, bukan juga seorang sarjana kimia, bukan juga sarjana FMIPA, tapi pelajaran kimianya lebih dari pelajaran kimia yang ada. Ikatan yang ia bentuk terasa sulit untuk diputuskan bahkan tak pernah bisa dilepaskan. Ia sabar dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan kami yang mungkin sulit untuk dia jawab karena pertanyaannya adalah “kenapa tidak mau membina?”, pertanyaan yang mungkin sulit dijawabnya dan pernyataannya sulit pula aku terima dengan akal kelumrahan seorang kader. Pernyataannya bertolak belakang dengan apa yang selama ini sampai padaku.
Ternyata pernyataannya adalah tarbiyah, dia sedang mentarbiyahku untuk berbaik sangka, aku ditarbiyah agar bisa mengerti bukan untuk menuntut, dia sedang mentarbiyahku untuk arti ukhuwah yang tak hanya senang namun juga duka, ukhuwah yang bukan berarti hanya penbenaran dari saudara bahkan juga penolakan.
***
Suatu sore pada hari senin, dia datang dalam majelis kami dan disana aku dapat jawaban kenapa dia tidak mau menjadi bagian dari halaqoh kami. Dia bercerita tentang apa alasan kenapa dia ingin meninggalkan kami.
”Adik-adik yang dirahmati Allah, aku bukan orang yang sempurna, sebelum aku berbicara aku mohon maaf dan aku mohon maaf atas segala kesalahan yang pernah aku lakukan kepada adik-adik, atas hak yang tak tertunaikan dengan baik, atas waktu adik-adik yang tersita karena harus menunggu dan menunggu kedatanganku tapi bukan jasadku yang muncul melainkan SMSku singkat menyampaikan “afwan kakak tidak bisa hadir saat ini”, sungguh bukan hal seperti itu yang aku inginkan, ingin sekali berada dalam lingkaran adik-adik namun aku tau da’wah ini tidak akan pernah kekurangan kader sedangkan ibuku hanya memiliki aku dan dua orang adikku yang masih kuliah. Aku tidak mau meninggalkan ibuku karena saat ini dia membutuhkan kami ada disisinya, aku bekerja disini dan setiap pekannya aku sempatkan berada didekatnya walau kami tidak berada dalam propinsi yang sama. Aku ingin menjaga ibuku sebaik-baiknya walaupun itu tidak akan pernah bisa menandingi pelayanan dan kasih sayang yang ia berikan”.
Pernyataan yang cukup representative untuk bisa meninggalkan kami, inilah tarbiyah yang hangat ku rasakan, ada kejujuran, kejujuran yang pahit dan harus ditelan agar ianya menjadi obat. Murobbiku jujur ingin meninggalkan kami untuk sebuah pengabdian, untuk surga yang ditujunya, apalah arti perjuangan da’wah jika orang tua tidak ridho atasnya, apalah artinya da’wah jika orang tua kita terdzalimi, apalah arti da’wah kita jika orang yang paling berjasa dalam hidup kita tersia-siakan.
Inilah tarbiyah yang ia berikan, dia tidak memaksakan diri dalam ketidak berdayaannya sehingga adanya pemindahan tanggungjawab atas binaannya dan hak-hak binaannya tak terabaikan. Inilah tarbiyah yang ia sugukan seperti burger hangat yang lezat, dia menjadi dirinya sendiri dan tidak asal ikut-ikutan. Inilah tarbiyah yang ia sajikan, memberikan kehangatan dalam setiap pertemuan dengannya bukan ketakutan meskipun dia selalu meminta kami murojaah yang banyak, bahkan satu juz dalam pertemuan pekanan tapi itu tidak menjadi momok yang menakutkan.   
***
Taukah bagaimana cara kami dipindahkan ke halaqoh yang lain? Saat itu libur semester dan kebanyakan kami pulang kampung, tiba-tiba begitu kembali ke pekanbaru menghubungi beliau luar biasa sulitnya, begitu beliau balas hanya ada kata maaf dan kata perintah untuk menghubungi nomor yang tertera dalam SMS tersebut.
Ada satu lagi tarbiyah yang aku dapatkan, memahami setiap kepentingan orang lain, bersabar dan ikhlas. Aku bahagia memiliki murobbi yang memberikan begitu banyak pelajaran dalam kehidupanku, dia mengajarkan aku arti memahami, mengelus hatiku untuk sabar dan ikhlas dalam setiap pekerjaanku. Aku mengerti bahwa tarbiyah yang ia berikan luar biasa, tarbiyah yang mendewasakanku dalam bersikap, tarbiyah yang membuat aku tergila-gila dengan tarbiyah, tak ada satupun lini kehidupan yang aku lewati tanpa tarbiyah mungkin orang berpikir aku tidak realistis karena suka mentarbiyah diri dari apa yang aku lihat atau pengalaman orang atau pengalaman diri sendiri, karena pesan yang dia selipkan adalah jadikan segala sesuatu sebagai tarbiyah dengan tetap komitmen pada halaqoh pekanan.
Ketika sudah tidak berada dalam lingkarannya, kehangatan itu masih terasa, sehari, dua hari, seminggu, sebulan bahkan bertahun selalu ada cinta itu meskipun tidak selalu bertanya kabar, selalu seperti sahabat yang sudah lama tak bertemu dengan sahabatnya.
***

1 komentar:

  • Putri Biru says:
    19 Desember 2011 pukul 05.53

    Apa kabar Ka Liza sekarang ya Jee? hehe

Posting Komentar